UMK News - Fenomena sosial baru kembali mencuat di Kabupaten Kuningan. Sebanyak 43.000 warga tercoret dari daftar penerima bantuan sosial (bansos), dan di antaranya 406 orang diduga terlibat praktik judi online. Data tersebut berasal dari verifikasi Dinas Sosial bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), yang menemukan adanya aktivitas transaksi judi di rekening penerima bansos.
Di balik angka-angka yang tampak kering ini, tersimpan persoalan besar mengenai bagaimana kemiskinan, bantuan pemerintah, dan budaya digital saling berkelindan dalam kehidupan masyarakat.
Ironi Bantuan Sosial di Era Digita
Bansos pada dasarnya dirancang sebagai instrumen pemerataan ekonomi. Namun, ketika bantuan tersebut justru digunakan dalam aktivitas digital yang tidak produktif, muncul ironi sosial yang patut direnungkan.
Pemutakhiran data bansos oleh pemerintah daerah tentu langkah yang tepat. Namun, terkuaknya fakta bahwa masih ada ratusan penerima bantuan yang terlibat judi online menunjukkan persoalan yang lebih mendasar: rendahnya literasi keuangan dan literasi digital masyarakat. Banyak penerima bansos kini memiliki gawai dan akses internet, tetapi tidak dibekali kemampuan memanfaatkan teknologi secara bijak.
Ketimpangan Sosial Digital yang Kian Nyata
Dalam perspektif pendidikan IPS, kasus ini menggambarkan fenomena ketimpangan sosial digital. Masyarakat yang sebelumnya terbatas pada interaksi ekonomi konvensional kini masuk ke ruang digital tanpa pendampingan memadai. Nilai kerja keras, kesabaran, dan kearifan lokal perlahan bergeser oleh logika instan yang ditawarkan “klik dan menang”.
Angka 406 memang kecil dibanding ribuan penerima bansos lainnya, tetapi bersifat simbolik. Ia menunjukkan pergeseran gaya hidup dan nilai sosial pada masyarakat ekonomi lemah yang sedang mencari jalan pintas menuju kesejahteraan.
Data sebagai Cermin Perilaku Sosial
Dalam ilmu sosial, data bukan sekadar angka, melainkan representasi perilaku masyarakat. Angka 406 pemain judi online mencerminkan tekanan ekonomi, minimnya literasi digital, dan lemahnya filter nilai dalam menghadapi dunia maya. Mereka tidak hanya membutuhkan bantuan ekonomi, tetapi juga bimbingan pemahaman.
Oleh karena itu, pemerintah daerah, lembaga pendidikan, dan tokoh masyarakat perlu bergerak bersama untuk:
meningkatkan literasi digital dan keuangan,
memberikan pendampingan sosial yang berkelanjutan,
menguatkan nilai sosial dan etika penggunaan teknologi.
Dengan begitu, bansos tidak hanya menjadi aliran dana, tetapi menjadi instrumen pemberdayaan.
Peran Pendidikan: Dimulai dari Ruang Kelas
Sebagai pendidik, saya meyakini bahwa perbaikan dimulai dari pendidikan. Sekolah dan perguruan tinggi perlu memberikan pemahaman yang lebih holistik tentang penggunaan teknologi. Pendidikan IPS tidak cukup hanya membahas teori ekonomi, tetapi juga harus menyentuh bagaimana perilaku digital membentuk struktur sosial masa kini.
Pemerintah daerah pun perlu mengubah pola pendampingan bansos, tidak hanya fokus pada verifikasi data, tetapi juga membina perilaku penerimanya dalam pengelolaan bantuan.
Fenomena Nasional yang Harus Diantisipasi
Apa yang terjadi di Kuningan hanyalah potret kecil dari fenomena nasional. Di banyak daerah, irisan antara penerima bansos dan pengguna judi online kian terlihat. Ini menandakan bahwa kemiskinan kini tidak hanya soal pendapatan, tetapi juga soal ketidakmampuan menghadapi risiko dunia digital.
Maka, tugas kita bukan hanya memperbaiki daftar penerima bantuan, tetapi juga membangun kesadaran digital masyarakat.
Ketika bantuan sosial bertemu ruang digital tanpa nilai dan literasi, yang muncul bukanlah pemberdayaan, tetapi ketergantungan baru. Tantangan terbesar kita adalah mengubah cara pandang masyarakat terhadap teknologi, uang, dan masa depan.
Jika hal ini dapat dijembatani, maka angka 43.000 dan 406 tidak hanya menjadi statistik, tetapi menjadi titik balik menuju masyarakat yang lebih berdaya, bijak, dan bermartabat. (tsa)
Oleh: Nunu Nurfirdaus, M.Pd.
Dosen Universitas Muhammadiyah Kuningan

